Seluruh jagat raya terasa menekan organ-organ dalamnya ketika perempuan berambut panjang itu membuka kedua matanya. Ia telah berhasil mengumpulkan seluruh nyawanya, tetapi ia benar-benar tidak tahu ia sedang berada di mana. Ia pun memendarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Hanya ada ruangan putih tulang tak bersekat dan ia dihadapkan oleh deretan tangga menuju ke ruang bawah tanah.

Gadis itu bergidik ngeri. Bayangan monster dalam kegelapan yang menanti kehadiran perempuan itu berdansa dengan indah pada cermin persepsinya. Ia memilih jalur aman. Ia harus keluar dari sini. Segera. Ia mengayunkan kakinya dengan ritme yang kaku, tetapi kepalanya terantuk sesuatu. Aduhan kesakitannya bergema ke seluruh ruangan.

Dahinya mengernyit. Apakah ia telah menabrak sesuatu? Instingnya menyerukan untuk mengangkat tangannya. Ia terlihat seperti para pemimpin negara yang menyapa rakyatnya di antara keramaian konvoi. Atom-atom solid bereaksi dingin terhadap sentuhan hangat tangan gadis itu.

“Dinding?” gumamnya bingung. Anehnya, dinding itu tidak terlihat. Panik segera menyerangnya. Ia mencoba-coba untuk menelusuri setiap penjuru di sekelilingnya. Sia-sia, ia bahkan tidak menemukan celah sekecil diameter pembuluh darah kapiler pun.

Ia tak mungkin sendirian di situ. Ia menggedor-gedor dinding sembari berteriak, “Halo? Ada orang di situ? Halo? Tolong!” Kehampaan yang menjawab. Detik-detik pun bergulir dan ia mulai patah semangat. Meski begitu, ia merasa deretan tangga itu baru saja memanggil namanya. Suaranya lemah dan samar, tetapi itu memberikan petunjuk bahwa ia memang tidak sendirian di tempat ini.

Ia menelan ludah dan terpaksa harus turun jauh ke dasar layaknya tutorial game yang terkonstruksi dengan apik. Tangga-tangga itu memang gelap dan mencekam, tetapi secercah cahaya dari ruangan di atas membantu retina untuk memproyeksi bayangan yang sempurna. Ia bertelanjang kaki dan anehnya, lantai tangga ini terasa hangat. Gadis itu semakin tidak sabar untuk tiba ke dasar tangga.

Tidak ada monster. Hantu pun tiada. Namun, amplitudo suara yang samar tadi semakin keras seiring ia menyusuri tangga. Suara-suara itu saling bersahutan dengan nada bicara yang acak. “Halo? Halo?” Ia mencoba berkomunikasi dengan mereka, tetapi pertanyaannya menguap ke udara. Nada bicara mereka berubah menjadi intens dan gadis itu mempercepat langkah kakinya.

Sampai di dasar, ia malah disambut oleh ruangan putih tulang yang sama. Ia menerawang lurus ke depan dan pemandangan yang menggambarkan tiga figur menyengatnya bagaikan aliran listrik tinggi. Tiba-tiba, alunan piano entah dari mana bergaung di daun telinganya. Ia sudah tak asing dengan lagu ini, Les Carnaval des Animaux: VII L’Aquarium karangan Camille Saint-Saëns.

Gadis itu berlari mendekati tiga orang itu. Apakah semua ini mimpi? Ia mencubit kulitnya. Rasa sakit menyiksa pori-pori kulitnya.

Hah?

Pikirannya seperti kopi yang sedang diaduk. Namun, saraf-sarafnya menegang hebat ketika ia selesai menghampiri tiga orang itu. Dua perempuan di antaranya berparas sama sepertinya. Rambut panjangnya, baju yang mereka kenakan, jari-jemari kaki yang berpijak—semuanya sama. Perempuan yang satu sedang berdiri sambil mengacungkan pistol Beretta 92 FS, bersiap untuk menarik pelatuknya. Figur lain yang sama seperti dirinya, sedang duduk memohon. Air matanya tak kunjung urung berhenti mengalir. Pakaiannya sudah lusuh seperti dirinya telah diseret dengan wajah menghadap permukaan lantai.

Sosok yang sedang dilindungi oleh perempuan yang sedang bersedih itu adalah seorang lelaki. Ia berlumuran darah dengan mata dan mulut disekap oleh balutan kain putih kotor. Wajahnya babak belur dan tulang hidungnya sedikit bengkok. Kedua tangannya dijerat oleh tali bersimpul mati. Tiba-tiba, lelaki itu menoleh tepat kepadanya. Gadis bingung itu menatap iba, berniat menolongnya dan mengobatinya.

Pelatuk mulai ditarik. “Tolong jangan. Tolong…” Kata-katanya ditelan oleh sedu-sedan yang memilukan. “Julie, jangan…jangan bunuh dia. Tolong…”

Mereka pun mempunyai nama yang sama dengan gadis yang baru singgah itu. Kepala Julie terasa pening. Ia menutup mata sembari memegang kepalanya, tetapi ia segera terbangun dari lamunan ketika sosok Julie yang berlutut mulai meronta hebat. Histeria itu semakin tidak kentara ketika sosok Julie yang mengacungkan pistol itu membidik laki-laki yang duduk tidak berdaya.

“JANGAN! DIMAS!” Ia merentangkan kedua tangannya selebar mungkin hingga semua otot pun berkontraksi. Ia melindungi Dimas yang kini tertunduk lemah.

Dimas?

Refleks, Julie yang hanya menjadi penonton mengambil alih suatu peran penting. Julie segera berlari kencang untuk menjatuhkan senjata yang digenggam oleh iblis berkedok dirinya. Iblis itu sepertinya tidak menyadari kehadirannya. Cepat, sebelum terlambat.

Tanpa aba-aba, Julie terpaku. Kedua telinganya berdengung. Kedua tungkainya tak kuat memikul beban tubuhnya. Tangannya mencoba meraih sesuatu.

Lehernya bersimbah darah. Trakea Julie pecah menjadi berkeping-keping. “U—kkk da—” Oksigen. Udara. Aku butuh udara.

Kotak pandora telah dibuka. Semua menjadi kacau. Dimas berlari tanpa arah dan refleksi Julie yang penuh kasih itu mencoba menghentikan refleksi Julie yang sinting. Seperti yang sudah Julie duga, dua orang itu ditembak di kepala.

“Kkk—kkk…”

Saat mata Julie mengedip, tembakan keempat menggaung layaknya terompet sangkakala. Julie berusaha kuat untuk tetap sadar dan semua orang telah terbaring mengenaskan. Menyiksa. Julie sengaja ditembak di leher agar ia dapat menyaksikan adegan terakhir ini.

“Kkk…”

Julie tetap tak kenal lelah mencari udara.

Semuanya pun meremang.

Pekat.

Gelap.

 

(This work was written about 2 years ago and I think it’s my darkest short story I’ve ever written in my life.)

Leave a comment